Kelemahan Penegakan Hukum dan Pengawasan Lahan Jadi Penyebab Konflik Agraria

Oleh: Diana Savitri

PENGELOLAAN lahan di Indonesia, terutama dalam kasus konflik agraria antara petani Desa Pundenrejo dan PT Laju Perdana Indah (PT LPI), menunjukkan jelas adanya masalah struktural yang melibatkan pengabaian hak-hak petani oleh otoritas terkait serta perusahaan besar. Gerakan masyarakat petani Pundenrejo (Germapun), melaporkan dugaan maladministrasi Kanwil Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Provinsi Jawa Tengah ke Ombudsman RI Perwakilan Jawa Tengah.

 

Sengketa ini dimulai ketika PT LPI merampas lahan seluas 7,3 hektare dan menggunakannya untuk penanaman tebu, meskipun sebenarnya tanah tersebut berstatus Hak Guna Bangunan (HGB). Beberapa petani setempat mengklaim bahwa mereka telah bekerja di lahan itu selama puluhan tahun untuk menanam berbagai jenis komoditas pangan. Sebanyak 143 petani harus menghadapi kesulitan ekonomi dan ketidakpastian hidup setelah kehilangan akses ke lahan yang mereka garap.

 

Respons yang dinilai tidak memadai dari BPN Jateng semakin memperparah masalah ini, padahal seharusnya mereka berperan aktif dalam menyelesaikan konflik agraria. Sebaliknya, BPN tidak memberikan kepastian dan solusi yang diperlukan oleh para petani serta dianggap mengabaikan keluhan mereka dan kurang bertugas dengan baik.

 

Abdul Kholik, pendamping hukum dari LBH Semarang, mengungkapkan bahwa petani telah melakukan berbagai tindakan sejak tahun 2022. Tindakan-tindakan tersebut meliputi pengiriman surat-surat, pertemuan untuk membicarakan masalah mereka secara langsung dengan pihak terkait, Meski begitusegala upaya ini nampaknya tidak berhasil, sehingga memaksa mereka untuk melaporkan kasus tersebut ke Ombudsman.

 

PT LPI diduga telah menyalahgunakan izin HGB, yang menjadi salah satu permasalahan utama dalam sengketa ini. Perusahaan tersebut memanfaatkan tanah yang seharusnya digunakan untuk pembangunan perumahan prajurit di bawah unit usaha Kodam IV Diponegoro untuk kegiatan penanaman tebu, mengabaikan tujuan semula dari pengalokasian lahan. Pihak Kanwil ATR/BPN Jateng justru menyatakan dalam pernyataannya bahwa penggunaan lahan oleh PT LPI sudah mematuhi peraturan daerah mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Situasi ini memunculkan keraguan serius terhadap keseriusan pemerintah dalam menjalankan sistem hukum agraria dan melindungi kepentingan petani.

 

Banyaknya konflik agraria di Indonesia, yang berakar dari masa kolonial dan militerisasi setelah kemerdekaan, tercermin pula dalam sejarah lahan ini. Setelah tragedi G30S/PKI, tanah yang sebelumnya dikuasai oleh kolonial Belanda dan dimanfaatkan oleh penduduk lokal untuk berkebun, beralih kepemilikan menjadi milik militer. Setelah satuan militer di bawah Kodam Diponegoro mengambil alih BAPPIPUNDIP yang merupakan unit usaha dari Kodam IV Diponegoro dan izinnya diperpanjang hingga 2024. Namun, rencana awal yang bertujuan untuk mengubah lahan tersebut menjadi pemukiman militer tidak juga pernah di bangun. Setelah itu, pada tahun 1973, tanah tersebut secara resmi dialihfungsikan menjadi HGB oleh prajurit . Meskipun BAPPIPUNDIP mengalami kebangkrutan pada tahun 1999, lahan tersebut akhirnya dialihkan kepada PT LPI pada tahun 2001 setelah sempat terlantar.

 

Saat PT LPI masuk pada 2020, terdapat dugaan bahwa perusahaan ini telah mengusir petani dan merusak tanaman yang mereka rawat dengan penuh usaha selama bertahun-tahun. Tindakan PT LPI telah menyebabkan petani kehilangan akses terhadap sumber-sumber yang mereka butuhkan untuk hidup, dan sebagai hasilnya bertanggung jawab atas konflik berkelanjutan. Petani berharap tanah itu dapat dikembalikan kepada rakyat serta dikelola oleh warga setempat karena mereka merasa HGB yang dimiliki PT LPI tidak sesuai dengan fungsi sebenarnya. Ini menunjukkan seberapa rumitnya dan sering kali tidak adilnya sistem pengelolaan tanah di Indonesia, terutama untuk petani kecil yang bergantung pada lahan tersebut untuk bertahan hidup. Ketidakpedulian pemerintah, terutama BPN, dalam menuntaskan konflik ini sangat mengecewakan bagi warga Pundenrejo. Mereka merasa bahwa perlindungan hak-hak mereka tidak diperhatikan dengan baik. Kehadiran Ombudsman memiliki peranan yang sangat penting dalam kasus ini guna menjamin adanya teguran dan tindakan korektif terhadap dugaan maladministrasi oleh BPN Jateng.

 

Menurut saya, kasus ini juga menekankan betapa pentingnya adanya reformasi agraria yang lebih adil, terbuka, dan mendukung masyarakat secara keseluruhan, khususnya bagi para petani. Kelemahan dalam penegakan hukum dan pengawasan terhadap penggunaan lahan sering kali menjadi penyebab terjadinya konflik agraria seperti ini, yang pada akhirnya merugikan masyarakat kecil. Penting bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmen yang lebih kuat dalam melindungi hak-hak petani dan menyelesaikan konflik agraria secara adil. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan musyawarah terbuka serta mencari solusi yang memihak pada kesejahteraan masyarakat. (plk1)

Redaksi
142

Featured News

Official Support

Jalan Yos Sudarso Kota Palangka Raya

08115555555

pelitakalteng@gmail.com

Follow Us
Foto Pilihan

Copyright © 2020 Pelita Kalteng All rights reserved. | Redaksi | Pedoman Media Cyber | Disclimer